Kecemasan Kolektif: Mengapa Gen Z Lebih Mudah Cemas?

Generasi Z tumbuh di masa ketika dunia tak pernah benar-benar tenang.
Pandemi, perubahan iklim, inflasi, berita perang, hingga isu sosial di media. Semua hadir dalam genggaman tangan.

Bagi Gen Z, dunia tidak pernah benar-benar berhenti.
Berita datang setiap detik, notifikasi terus berbunyi, dan media sosial mengundang perbandingan tanpa henti.

Di satu sisi, mereka hidup di masa dengan akses informasi terbuka.
Namun di sisi lain, keterbukaan itu justru menimbulkan kecemasan kolektif — perasaan cemas yang bukan hanya milik individu, tapi juga hasil dari tekanan sosial yang dirasakan bersama-sama.

Tak heran, banyak dari mereka hidup dalam kondisi hiperwaspada emosional.
Setiap hari otak mereka memproses begitu banyak hal: kabar buruk, tuntutan sosial, dan perbandingan diri yang tak berujung.

Apa Itu Kecemasan Kolektif?

Istilah collective anxiety merujuk pada kondisi ketika banyak orang mengalami rasa takut, gelisah, atau tak berdaya secara bersamaan akibat situasi global yang tidak pasti.

Menurut psikologi sosial, hal ini terjadi ketika emosi negatif tersebar luas melalui media dan interaksi sosial.
Gen Z, yang hidup sangat terkoneksi secara digital, menjadi generasi yang paling mudah menyerap emosi kolektif itu.

Mereka membaca, menonton, dan scrolling terus-menerus, hingga batas antara “masalahku” dan “masalah dunia” menjadi kabur.

Tekanan dari Dunia Digital

Media sosial memberi ruang untuk berekspresi, tapi juga menjadi sumber tekanan besar bagi kesehatan mental.

  • Perbandingan sosial: Melihat pencapaian orang lain membuat banyak Gen Z merasa tertinggal. Pencapaian-pencapaian orang lain dipamerkan dengan bebas di media sosial, karena semua orang memang sedang mengharapkan validasi digital. Gen Z yang tidak memiliki apa yang mereka saksikan merasa tertinggal dan mulai merasa tidak berarti.
  • Fear of Missing Out (FOMO): Takut ketinggalan tren atau momen membuat mereka terus terhubung tanpa jeda. Berita apa pun, baik dunia politik, hiburan, sosial, ekonomi dan sebagainya seolah wajib untuk diketahui, sehingga generasi ini benar-benar tidak bisa lepas dari media sosialnya.
  • Overload informasi: Terlalu banyak berita, terutama yang negatif, menimbulkan kelelahan emosional. Tidak bisa dipungkiri, bahwa informasi negative pun sering terlihat lebih menarik dan tanpa disadari menerima informasi negative mengakibatkan kelelahan emosional, menimbulkan rasa marah, sedih dan khawatir.

Secara neurologis, otak manusia belum terbiasa dengan stimulasi sebanyak ini. Akibatnya, sistem saraf bekerja berlebihan, menciptakan rasa cemas yang seolah tidak punya alasan jelas.

Tekanan Sosial dan Pencarian Identitas

Di usia ketika mereka masih mencari jati diri, Gen Z dihadapkan pada standar yang tinggi, yaitu harus sukses, produktif, aktif, dan “bahagia” secara online. Dunia yang terbuka lebar di genggaman mereka memberi standar bagaimana mereka harus hidup. Mereka harus sehat seperti si A, B, C, mereka harus sukses seperti si D, E, F, dan harus tetap menikmati hidup yang bahagia.

Akibatnya, banyak yang merasa seperti sedang berpacu dengan waktu.
Padahal di balik layar, mereka kelelahan, tapi takut terlihat “gagal”.

Inilah bentuk kecemasan baru yang halus tapi nyata: kecemasan eksistensial yaitu rasa takut bahwa hidupnya tidak cukup berarti.

Bagaimana Gen Z Menghadapinya?

Meskipun cemas, Gen Z bukan generasi yang menyerah. Mereka justru lebih terbuka untuk mencari bantuan dan membicarakan apa yang dirasakan.

Yang menarik, Gen Z justru paling terbuka bicara soal kesehatan mental.
Mereka menjadikan kata “anxiety” bukan tabu, tapi bagian dari percakapan sehari-hari.

Namun di sisi lain, ada efek normalisasi kecemasan — ketika perasaan cemas dianggap hal biasa, padahal tetap butuh ruang pemulihan dan penanganan yang sehat.
Mereka tahu apa itu anxiety, tapi belum tentu tahu bagaimana menenangkannya.

Beberapa cara yang mulai mereka lakukan:

  • Menulis jurnal atau konten reflektif. Gen Z banyak yang rajin menulis jurnal dan membuat konten-konten reflektif
  • Mengikuti terapi online. Mungkin karena bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja, mereka lebih terbuka dengan terapi online.
  • Mempraktikkan digital detox.
  • Membangun komunitas yang saling mendukung.

Langkah kecil seperti ini menunjukkan bahwa mereka ingin memahami, bukan menekan emosi.

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Mereka

Kecemasan kolektif bisa membuat dunia terasa berat.
Namun, keberanian Gen Z untuk mengaku “aku sedang tidak baik-baik saja” adalah tanda kesadaran emosional yang tinggi.

Alih-alih menutupi, mereka mengajak dunia untuk berbicara, bukan hanya tentang masalah, tapi juga tentang proses penyembuhan.

Mungkin, dari Gen Z kita belajar bahwa kerentanan bukan kelemahan, melainkan jembatan menuju koneksi yang lebih manusiawi.

Gen Z dan Harapan Baru

Kecemasan adalah tanda bahwa kita peduli.
Gen Z bukan generasi yang lemah, mereka hanya sedang mencari cara baru untuk memahami dunia yang terlalu cepat berubah.

Mungkin mereka cemas, tapi dari kecemasan itulah muncul empati, kesadaran sosial, dan keberanian untuk meminta tolong.
Mereka sedang menulis ulang cara manusia menghadapi ketidakpastian.

7 thoughts on “Kecemasan Kolektif: Mengapa Gen Z Lebih Mudah Cemas?”

  1. Tham gia giải trí nhất định anh em không nên bỏ qua sảnh chơi cá cược thể thao. slot365. com đưa tới cho cược thủ hàng trăm các tỷ lệ kèo siêu hấp dẫn trên khắp thế giới, tỷ lệ thưởng đa dạng. Với nhiều giải đấu lớn nhỏ được cập nhật liên tục mỗi ngày như Champions League, Euro, La Liga, Serie A, Premier League, World Cup,…

    Reply
  2. Các giấy phép này cũng yêu cầu 188v chính thức phải thực hiện các biện pháp bảo vệ người chơi, như bảo mật thông tin cá nhân, chống gian lận, và đảm bảo công bằng trong trò chơi. Điều này giúp người chơi yên tâm hơn khi tham gia cá cược tại nhà cái.

    Reply
  3. Một số dòng game nổi bật phải kể đến tại nhà cái 188v phải kể đến như baccarat, rồng hổ, xì dách, xóc đĩa, xì tố, poker,….đều có mặt. Các dealer nữ xinh đẹp, được đào tạo bài bản chuyên nghiệp, nóng bỏng luôn đồng hành và chắc chắn không làm anh em thất vọng.

    Reply

Leave a Comment